KH Ahmad Ishomuddin: Islam Bukan Agama Kebencian



Makin mudah menjumpai orang beragama dengan penampilan lahiriahnya seperti manusia suci, namun sorot mata, ucapan dan hatinya diliputi oleh kebencian kepada siapa pun yang dihakiminya keliru. Dadanya penuh sesak oleh amarah dan api dendam dengan tanpa secuil ruang untuk sekedar rasa cinta dan kasih sayang. 

Hal ini diungkapkan oleh Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin, Kamis (13/10) yang ditulis dalam akun Facebook miliknya.

Kiai yang akrab disapa Gus Ishom ini menjelaskan bahwa api amarah yang menguasai hatinya sulit dipadamkan saat orang lain berbeda dalam penafsiran dan ekspresi keberagamaan. Kaum beragama pemarah yang memonopoli kebenaran ini dengan tanpa beban dosa menularkan virus kebenciannya kepada siapa saja melalui berbagai media sosial, cepat merambat seperti gelora api melalap kayu bakar. 

Selagi pada tempatnya dan waktunya serta tidak berlebihan, kata Gus Ishom, marah itu tidak dilarang agama. Seperti Rasulullah SAW pun menampakkan amarahnya ketika ada sementara sahabat terlibat pertengkaran saling mempertentangkan ayat-ayat al-Qur'an dengan suara keras terkait soal takdir. 

“Itulah marah yang benar, marah yang terkendali, bukan marah yang keliru yaitu marah yang dikotori oleh caci maki, kedengkian apalagi fitnah, marah yang meluluh-lantahkan nama baik orang lain,” tegasnya.

Islam yang kita anut, jelasnya, bukanlah agama penebar kebencian, melainkan agama penebar rasa cinta. Terpaksa pun membenci tidak boleh berlebihan sehingga tidak bisa bersikap adil. Sebagaimana kecintaan yang berlebihan yang membuat mata tidak mampu melihat kekeliruan dari orang yang dicintainya. 

“Cinta itu universal, diajarkan oleh semua agama, namun ia membutuhkan ketulusan dalam praktik keberagamaan, sehingga tidak terbatasi oleh hal lahiriah semata,” terang Dosen Pascasarjana UIN Raden Inten Lampung ini.

Berjubah-jubah tanpa rasa cinta adalah kedunguan dalam keberagamaan. Beragama dengan rasa cinta itu harus berhembus hingga ke lubuk jiwa, mengusir sejauh mungkin kebencian yang tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Sebab, agama ini dihadirkan untuk menebarkan kasih sayang dan menghantarkan anak-anak manusia melalui keteladanan memasuki pintu-pintu akhlak mulia. 

“Setahu saya, tidak setiap kesalahan atau dosa yang telah diakui selalu harus dijatuhkan hukuman kepada pelakunya, maka mungkin saja untuk dimaafkan. Jikapun harus dihukum pun harus memerhatikan rasa keadilan. Saya kira inilah bentuk perwujudan rasa kasih sayang dalam Islam,” urai Gus Ishom.

Keterpakuan pada bunyi teks secara lahiriah saja, lebih-lebih dengan penafsiran yang sempit dan kaku, akan melahirkan ekspresi keberagamaan yang cenderung keras dan kaku pula. Seperti saat ini di mana agama telah diperalat hanya untuk menghakimi orang lain, lebih-lebih yang berbeda agamanya adalah contoh nyata dari praktik keberagamaan yang tercerabut dari memprioritaskan rasa cinta dan kasih sayang. 

“Sehingga surga yang luas itu menjadi sempit, sedangkan seolah hanya dirinya sajalah pemegang kunci surga itu, dan ia pulalah yang bisa menentukan bahwa hanya golongannya saja yang mungkin menghuninya,” tutupnya.


Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/71970/kh-ahmad-ishomuddin-islam-bukan-agama-kebencian

0 Response to "KH Ahmad Ishomuddin: Islam Bukan Agama Kebencian"

Post a Comment